Wednesday, May 7, 2008

Fatwa MUI tak Bertentangan dengan HAM

Sabtu, 19 Januari 2008
Oleh: Huzaemah T Yanggo
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

MUI tak melanggar HAM dengan memfatwakan Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat dan menyesatkan. Pelanggarnya adalah aliran-aliran tersebut. Benih-benih hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam ajaran Islam oleh umat Islam dideklarasikan dalam deklarasi hak-hak asasi manusia Islam sedunia oleh Dewan Islam Eropa pada saat Konferensi Islam di Kota Paris pada September 1981. Ini untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam.

Deklarasi tersebut berlandaskan atas Kitab Suci Alquran dan Sunah Nabi serta telah dicanangkan oleh para sarjana Muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia. Ini kemudian semakin membuat Islam berada dalam kondisi yang baik tentang hak-hak asasi manusia karena bukan hanya kewajiban saja yang dijunjung tinggi Alquran, tetapi juga hak-hak umatnya juga diperhatikan.

Diakui dengan sejujurnya bahwa hak-hak asasi manusia memang bersifat universal. Tetapi, pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama. Oleh karena itu, adanya perbedaan antara hak-hak asasi manusia di negara-negara Barat dengan di negara-negara Islam adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Betapapun juga Islam dan Barat mempunyai nilai-nilai sosial berbeda yang tidak terlepas dari perbedaan filosofi mereka.

Namun, perbedaan ini tidak semestinya menjadikan hubungan Barat dan Islam semakin jauh dan apalagi sampai pada konflik, melainkan bagaimana mendekatkan kedua peradaban ini. Dengan demikian, konflik ini dapat dihindari dengan saling mengakui dan memahami keberadaan masing-masing.
Islam adalah agama universal yang dapat menerima berbagai kritikan dari pihak luar. Akan tetapi, semua itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Alquran dan Hadis.

Walaupun Islam mengakui adanya hak-hak asasi manusia, semua itu dihubungkan dengan adanya kewajiban-kewajiban manusia sebagai hamba Allah SWT kepada Tuhannya. Akan tetapi, adanya kewajiban itu bukan berarti menghalangi manusia untuk tidak dapat mempunyai hak sebagai hamba dalam kehidupan. Islam memberikan porsi yang sesuai tentang kedua hal ini dengan seimbang dan proporsional.

Keberagamaan adalah hak naluriah manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Namun, perlu ditegaskan bahwa kebebasan dalam masalah beragama itu apabila seseorang telah memilih suatu keyakinan maka dia harus masuk secara keseluruhan ke dalamnya dan harus menerima konsekuensi dari sesuatu yang dipilihnya.

Berdasarkan uraian di atas maka aliran Ahmadiyah atau Qiyadah Islamiyah yang mengaku Islam, mereka itu telah sesat dan berada di luar Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi penutup. Kalau Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah mengatakan bahwa masih ada lagi nabi membawa syariat setelah Nabi Muhammad, berarti aliran-aliran ini dianggap sesat dan telah murtad, keluar dari Islam.
Menurut kesepakatan ulama sedunia, tidak ada lagi nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad adalah nabi penutup. Ini merupakan bagian dari ajaran dan akidah Islam yang wajib diikuti oleh umat Islam.

Dari uraian di atas dapat pula disimpulkan bahwa fatwa MUI yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah dan aliran Qiyadah Islamiyah sesat dan telah murtad berada di luar Islam, tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM). Ini karena dalam pandangan Islam hak-hak asasi manusia bukan sesuatu yang tidak ada batasnya. Bukan berarti bebas menodai agama, tetapi harus tetap pada prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya, menurut Alquran dan Hadis Nabi SAW.

Aliran sesat langgar HAM
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa MUI melanggar HAM karena telah memfatwakan Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat dan menyesatkan, sebenarnya bukan MUI yang melanggar HAM. Sebenarnya yang melanggar HAM itu adalah aliran-aliran tersebut karena telah melakukan penyimpangan dan penodaan terhadap akidah umat Islam yang berpedoman kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw yang disepakati oleh seluruh ulama Islam.
Fatwa MUI tidak melanggar HAM yang termaktub dalam UUD 1945 Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28 E dan Bab X Pasal 29 tentang Agama karena kebebasan beragama atau memeluk agama yang diyakini dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu bukan berarti kebebasan untuk mengubah serta mengacak-acak agama dan ajaran agama yang sudah ada dengan seenaknya sesuai dengan keinginan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh aliran Ahmadiyah dalam kitab sucinya yang bernama 'Tazkirah’. Kitab itu hanya diadopsi dari Alquran, kemudian mereka tambah dan tafsirkan sesuai dengan keinginan mereka.

Dengan demikian, maka fatwa MUI mengatakan bahwa Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat tidak bertentangan dengan HAM. Bahkan, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kebebasan Beragama sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.

Sumber: www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320421&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
ARTIKEL LENGKAP