Monday, May 19, 2008

Organisasi Islam PDIP Dukung Ahmadiyah

Jum'at, 25 April 2008 - 15:22 wib

RUHUT AMBARITA - Okezone

JAKARTA - Baitul Muslimin Indonesia menegaskan adanya pelarangan dan aksi kekerasan atau ancaman terhadap jemaat Ahmadiyah merupakan tindakan yang melanggar konstitusi.
"Selain penganiayaan, pembiaran yang dilakukan pemerintah juga pelanggaran," kata Ketua Baitul Muslimin Indonesia, Hamka Haq saat berdialog dengan jemaat Ahmadiyah di Gedung Mega Center, Jalan Proklamasi No 53 Jakpus, Jumat (25/4/2008).

Menurut Hamka, kontroversi soal Ahmadiyah hanya merupakan perbedaan penafsiran, tidak ada perbedaan keyakinan yang prinsipil. Dia juga menyatakan Fatwa MUI yang melarang dan mengharamkan Ahmadiyah dikatakannya tidak tepat.

Menurut Hamka, pemerintah seharusnya mengacu pada UU 1945 pasal 28 E (2), di mana disebutkan setiap orang atas bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

"Dan di poin 3 disebutkan tiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat," ujar Hamka.

Dalam kesempatan ini, lembaga underbow PDIP ini juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas, khususnya pada jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang selama ini berada dalam ancaman.

"Pemerintah harus menindak tegas setiap aksi kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah, karena jika dibiarkan keutuhan NKRI akan terancam," jelasnya. (fit)

Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/04/25/1/103943

Selengkapnya.....

Melindungi Kehormatan Agama

Minggu, 20 April 2008

Oleh : KH DIDIN HAFIDHUDDIN

Sungguh memprihatinkan jika melihat kondisi masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Beragam persoalan datang silih berganti seakan tiada henti. Mulai dari permasalahan ekonomi, seperti inflasi yang tinggi, harga-harga bahan makanan yang naik, upah riil yang menurun, angka pengangguran yang masih tinggi, dan tingkat kemiskinan yang juga masih belum dapat dikurangi secara signifikan.

Kemudian, masalah politik, seperti konflik pilkada berkepanjangan di sebuah provinsi di wilayah timur Indonesia yang berpotensi menciptakan konflik horizontal yang lebih luas. Belum lagi, dengan kondisi global yang mengancam kepentingan bangsa, seperti tingginya harga minyak dunia yang sudah mencapai angka 115 dolar AS per barel, krisis pangan dunia, dan ancaman resesi global akibat krisis kredit perumahan rakyat di AS.

Selain itu, di antara masalah yang sangat berat menimpa umat Islam adalah munculnya beragam aliran sesat dan menyesatkan, yang berusaha melemahkan akidah dan keyakinan terhadap kebenaran ajaran Islam. Jika dibiarkan aliran-aliran seperti itu, akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Umat Islam akan kehilangan pegangan dan arah.
Setiap orang akan memiliki kebebasan untuk menafsirkan, menginterpretasikan ajaran agama, dan membuat fatwa sesuai dengan logika pemahaman dan kepentingannya, meskipun tanpa memiliki dasar ilmu yang mencukupi.

Pantaslah jika Rasulullah SAW telah mengingatkannya dalam sebuah hadis bahwa sumber penyakit kronis agama itu ada tiga, yaitu penguasa yang zalim, ulama yang buruk, dan mujtahid yang bodoh namun suka berfatwa (HR Daelami dari Ibn Abbas).
Berkembangnya aliran sesat akibat kebodohan terhadap ajaran agama ini tidak boleh dibiarkan. Perlu ada tindakan tegas secara hukum agar keberadaan aliran-aliran sesat itu dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Bentuk-bentuk aliran sesat

Secara umum, aliran sesat yang ditinjau dari aktivitasnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, aliran sesat yang berupa gerakan bersifat pemikiran. Kedua, aliran sesat yang tidak hanya berhenti pada tataran pemikiran, namun telah berhimpun dalam sebuah organisasi yang lebih sistematis, yang memiliki jaringan dan struktur yang jelas, dan memiliki mekanisme rekrutmen anggota yang tertata dengan baik.

Sering kali kelompok yang kedua ini membentuk sebuah komunitas tersendiri yang bersifat sangat eksklusif dan terpisah dari komunitas umat Islam yang lain. Kelompok pertama didominasi oleh berbagai pemikiran yang mencoba untuk mendekonstruksi ajaran Islam yang sudah bersifat final, termasuk mengkritisi segala hal yang telah menjadi prinsip pokok dalam ajaran Islam. Misalnya, dengan berbagai dalih dan argumentasi, mereka menolak keyakinan bahwa ajaran Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan sempurna di sisi Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 3.

Bagi mereka, semua agama tidak ada bedanya karena bersumber dari Tuhan yang sama. Akibatnya, muncullah paham pluralisme agama yang melahirkan konsep relativisme agama. Kebenaran agama menjadi sesuatu yang bersifat relatif dan tidak mutlak. Pemikiran merusak dan berbahaya semacam ini sudah masuk ke berbagai kalangan dan kelompok, yang ujungnya akan menimbulkan keraguan dalam beragama (tasykik).

Meski demikian, bukan berarti ajaran Islam tidak mengakui adanya kemajemukan atau pluralitas. Pluralitas merupakan sesuatu yang bersifat sunatulah, sehingga menolak keberadaannya pada hakikatnya sama dengan menolak kebenaran hukum Allah. Dalam QS 49 : 13 misalnya, Allah SWT secara tegas menyatakan manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan tujuan untuk saling mengenal.

Begitu pula dengan perbedaan, di mana ia merupakan bagian dari sunatulah. Namun demikian, menyamakan sesuatu yang jelas-jelas secara diametral berbeda juga merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan sunatulah. Karena, hanya akan menciptakan ketegangan dan konflik. Yang harus dikembangkan adalah sikap untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.

Bahwa, setiap agama berbeda merupakan fakta kehidupan yang nyata. Menyamakan semua agama justru akan menjadi tindakan yang kontraproduktif. Karena, hanya akan menimbulkan gejolak negatif di tengah masyarakat. Selanjutnya, pada kelompok aliran sesat yang kedua, selain membentuk komunitas yang sangat eksklusif, mereka juga sering membuat aturan-aturan dan doktrin ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Misalnya, tidak boleh menikah dengan umat Islam di luar komunitasnya, karena mereka menganggap bahwa umat Islam di luar komunitasnya adalah kafir dan sesat.

Kemudian, pada beberapa kelompok, untuk melegitimasi para pendiri dan pemimpinnya, dimunculkan pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW bukan merupakan nabi dan rasul terakhir. Sehingga, para pemimpin tersebut dapat dengan leluasa mengklaim dirinya sebagai utusan Allah. Padahal, hal tersebut jelas-jelas melanggar firman Allah dalam QS 33 : 41 yang menegaskan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai khataman nabiyyin wal mursalin (penutup para nabi dan rasul).

Di antara kelompok yang termasuk dalam kategori ini adalah Ahmadiyah, yang hingga saat ini tidak menunjukkan itikad baik untuk melaksanakan 12 butir penjelasan Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab.

Dua solusi

Untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh berbagai aliran sesat tersebut, ada dua langkah solusi yang dapat dilakukan. Pertama, hendaknya pemerintah dan masyarakat merujuk pada fatwa MUI dalam menilai sesat tidaknya sebuah aliran keagamaan. Karena, MUI merupakan wadah representatif para ulama yang berasal dari berbagai ormas keagamaan yang berbeda-beda.

Kedua, perlunya tindakan tegas secara hukum dari pemerintah. Pemerintah tidak perlu ragu untuk membubarkan kelompok-kelompok aliran sesat yang ada. Bagaimanapun, kehormatan dan kemuliaan agama harus dilindungi. Insya Allah, umat dan masyarakat akan senantiasa mendukung kebijakan tersebut. Wallahu'alam.

Sumber: www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=49

Selengkapnya.....

Mendaur Ulang Misi Ulama

Kamis, 03 April 2008

Oleh: YUSUF BURHANUDIN
Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir.

Saat ini peran dan eksistensi ulama tengah dipertaruhkan. Buruk rupa cermin dibelah. Begitu ilustrasi sementara kalangan menyoroti kiprah ulama dewasa ini terutama seiring dengan maraknya aliran sesat yang menyempal dari pakem keyakinan mainstream umat
beberapa waktu lalu.

Para ulama seolah lebih asyik menyesatkan dan memberikan cap murtad bagi kelompok tertentu, tetapi mengabaikan penyebab kenapa mereka tersesat. Mesti disadari bahwa yang menjadi korban tak lain adalah internal umat Islam sendiri, orang awam yang seharusnya menjadi garapan utama ulama.

Maraknya aliran sesat di Tanah Air belakangan ini merupakan fakta memprihatinkan. Hal tersebut semestinya menjadi isyarat evaluatif rapuhnya dakwah yang digencarkan para ulama sehingga menelantarkan umat awam.
Fakta kesesatan selain karena kedangkalan keilmuan, terbukti sesesat-sesatnya aliran selalu saja menyedot banyak pengikut yang sejatinya menjadi misi ulama. Itu juga menampar muka ulama karena lengah dan gagal dalam membimbing (to guidance), mengarahkan, membina, dan memberdayakan umat menuju cita-cita luhur (al-ahdaf al-ummah al-islamiyyah).

Lantas, apa misi ulama dan bagaimana pula karakteristik mereka yang notabene pewaris misi para nabi (waratsatul anbiya')? Bagaimana tanggung jawab ulama dan juga lembaga ulama dalam masyarakat kontemporer? Tulisan berikut akan mencoba mengulasnya.

Identifikasi ulama

Menjadi ulama tak sekadar menarik berpidato dan beretorika di atas podium. Seorang ulama tak hanya khatib atau muballigh. Lebih dari itu, mereka dituntut mampu memijarkan keteladanan dalam pencerahan masyarakat menuju kemajuan peradaban.
Ulama adalah isim fa'il dari 'ilm yang berarti orang berilmu, berpengetahuan, dan memiliki wawasan luas. Tak bisa disangkal, yang membedakan ulama ('alim) dengan awam kebanyakan ('abid) adalah ilmu pengetahuan. Keutamaan para ulama dengan orang kebanyakan dilukiskan oleh Nabi SAW, fadhlul 'alim 'alal 'abid ka fadhlil qamar laylatal badri 'ala sa-iril kawakib (keutamaan orang berilmu dari orang biasa laiknya sinar rembulan purnama di antara seluruh bintang-gemintang).

Ulama adalah sosok manusia yang dimuliakan Allah. Derajat mereka lebih unggul dari manusia kebanyakan karena keilmuan mereka (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Abu Al-Aswad Ad-Duwaly melukiskan, "Jika para raja penguasa sekalian manusia, para ulama justru penguasa yang mengatur raja-raja."
Ulama adalah manusia pilihan Allah (selecta persona) karena tersandang pada pundak mereka misi istimewa meneruskan tugas para nabi memberdayakan umat manusia dari kebodohan, kejumudan, keterbelakangan, dan kemiskinan (QS. Fathir [35]: 32). Mereka dituntut memainkan peran tengah (wasit) guna menjembatani keadilan antara yang zalim dan mazlum, kaya dan miskin, kaum penindas dan tertindas.

Dalam al-Islam bayna jahli abna-ihi wa a'juzi ulama-ihi (Islam, Antara Kebodohan Umatnya dan Ketakberdayaan Ulamanya), Abdul Kadir Audah menegaskan pelabelan Rasulullah SAW bagi para ulama sebagai pewaris para nabi, mengisyaratkan tingginya penghargaan Nabi terhadap kedudukan ulama. Sebagai pewaris, ulama berkewajiban mewarisi sekaligus melanjutkan misi, jejak, peran, dan tanggung jawab (mas'uliyyah) kenabian di tengah-tengah umat (IIFSO: 1998, h. 142).

Meninggalkan dakwah berarti mengkhianati ilmu. Mereka kelak terancam kekangan api neraka (Siapa ditanya ilmu lalu dia menyembunyikannya, niscaya dikekang kekangan api neraka, HR. Ahmad dari Abu Hurairah). Menyembunyikan ilmu tentu bukan sebatas tidak menjawab pertanyaan saat berfatwa, tapi melepaskan tanggung jawab keilmuan demi kepentingan duniawi, individualistik, dan egois. Misalnya, memiliki keilmuan agama tetapi tidak diamalkan karena lebih mementingkan kehidupan pribadi, keluarga, klan, dan kelompok.

Menimbang misi ulama

Ada enam misi utama ulama yang dijelaskan Alquran dan Sunah Rasul. Pertama, transformasi keilmuan. Tugas utama ulama adalah mencerdaskan umat melalui transformasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan meliputi seluruh perangkat ilmu bagi tegaknya peradaban, mulai dari ilmu agama sampai ilmu umum. Ilmu ibarat cahaya penerang bagi perjalanan umat dalam menempuh peradaban gemilang sehingga mampu membebaskan mereka dari kegelapan, kebodohan, dan kesesatan. Mustahil rasanya bila kita bercita-cita besar, tetapi tidak dibarengi ketinggian ilmu.

Dakwah tanpa ilmu berarti mendakwahkan kebodohan. Dakwah atas nama kebodohan lebih banyak madharat-nya bagi umat. Munculnya sosok ulama maupun dai karbitan yang mengedepankan popularitas dan retorika hanya melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan, bukan tuntunan dan gerakan.
Sebab itu, para penganjur dakwah dan penebar ilmu wajib berilmu. Bagaimana mereka hendak menebar ilmu jika dirinya terperangkap dalam kebodohan? Bagaimana menerangi umat bila dirinya sendiri dalam kegelapan?
Tanpa ilmu, mereka bukan memberi cahaya dan pencerahan, tetapi merusak dan menghancurkan peradaban umat. Mereka memahami ajaran seenaknya tanpa disertai metodologi ilmu yang benar sehingga melahirkan ajaran sesat.

Kedua, amal dan teladan. Selain berilmu, ulama dituntut memiliki kekuatan teladan. Keilmuan tanpa amal perbuatan, sia-sia. Seorang ulama mesti menjadi teladan yang baik bagi umat, dirinya, dan ilmunya sendiri.
Tanpa teladan, alih-alih seruan akan didengar justru menjadi bencana bagi dirinya sendiri. Teladan lebih ampuh dari 1001 petuah.
Nabi SAW berdakwah selama 23 tahun dibentuk di atas kapasitas qudwah (teladan). Beliau tak sekadar transformator ilmu, tapi juga sosok yang mengampanyekan kebenaran dari pelosok ke pelosok. Bukan tipologi cendekiawan menara gading yang berbicara ini dan itu, seolah ilmu cukup berhenti sebatas pesan verbal (tabligh). Padahal, ilmu sejatinya meliputi misi pencerdasan, pencerahan, partisipasi, dan pemberdayaan umat.

Falsafah ummi Rasulullah bukan berarti buta ilmu, tapi buta dari ilmu-ilmu yang tidak mengandung daya gerak dan semangat perubahan. Misalnya, cukup berceramah di televisi atau menulis di media kemudian tidak melakukan apa-apa.
Ilmu mestinya memancarkan nuansa egaliter, transformatif (mengangkat harkat dan martabat umat), emansipatif (memberdayakan potensi umat), dan revolusioner (memiliki kekuatan perubahan/taghyir dan perbaikan/tanshif). Bukankah ilmu bertujuan menyelamatkan umat dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan (tahwil al-jahalah ila al-ma'rifah), dari ilmu ke gerakan (min al-ma'rifah ila al-harakah), dari gerakan ke peradaban (min al-harakah ila al-hadlarah)?

Ketiga, tahu skala prioritas. Para nabi memulai dakwah dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal mendasar. Membangun atap sebelum fondasi, alih-alih atap bisa tegak justru akan runtuh.
Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang (furu') sebelum tauhid (ushul) ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati.

Keempat, para ulama mesti berkarakter. Karakter adalah kepribadian yang melekat pada diri seseorang.
Karakter bukan tabiat pembawaan pasif dan pemberian, tapi syakhshiyyah yang mengalami proses (tasykhish/being to be). Karakter adalah pencitraan akhlak. Betapa syakhshiyyah Rasulullah sebagai Al-Amin dahsyat pengaruhnya di kemudian hari saat beliau harus menyampaikan kebenaran wahyu dengan risiko munculnya resistensi pendustaan.

Kelima, menyadari risiko dakwah. Ketika para ulama diterjunkan, jangan berharap mendapat sambutan istimewa dari masyarakat setempat. Di mana pun, selalu ada lima kelompok orang dalam menyikapi dakwah.
Dalam Fiqh Al-Harakah fi Al-Mujtama, Gamal Mazhi menyebut lima konsekuensi dakwah, yaitu apatis (mendukung tetapi tidak mengikuti (ashabun), mengikuti (hawariyyun), menolak (mad'u), dan bukan saja menolak bahkan menghalangi (mu'aridh).

Keenam, mengikhtiarkan persatuan. Persatuan merupakan kekuatan umat. Persatuan dan kesatuan umat tidak datang sendiri, tapi mesti direncanakan, direkayasa, dan diikhtiarkan. Umat masih bercerai-berai sehingga mereka mudah terjebak oleh gesekan horizontal yang tidak perlu dan pada gilirannya mengabaikan agenda besar ke depan.

Perlu cita-cita mengubah jam'iyyah (komunitas kecil terbatas) menuju jamaah (komunitas besar dan universal). Menurut M Natsir (1983), hendaknya umat menjadikan iman sebagai pilar persatuan. Timbulnya tafarruq dan tanazu' di kalangan umat bukan karena banyaknya organisasi, tapi karena di tengah-tengah perjalanan wijhah organisasi samar dan kabur. Jika perbedaan didasarkan kejujuran, niscaya memiliki titik temu.
Sosok ulama idaman umat saat ini berarti ulama berwawasan luas, memiliki integritas keumatan, paham masalah umat, berbudi pekerti luhur, memancarkan nilai keteladanan, menjadi perekat, dan pemersatu umat. Adakah sosok itu saat ini?

Ikhtisar:
- Ulama mengemban misi mulia sebagai penerus para nabi dan rasul.
- Yang ideal agar umat selamat, ulama harus berilmu dan mampu memberi teladan.

Sumber: www.republika.co.id/

Selengkapnya.....

Ahmadiyah dan Kebebasan Beragama

Tajuk Republika - Kamis, 17 April 2008

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) memerintahkan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan kegiatan. Mereka mengumumkan keputusan itu di Kejaksaan Agung, kemarin (16/4). JAI dinilai tak melaksanakan 12 butir kesepakatan yang dibuat pada pertengahan Januari lalu. Karena itu, Ahmadiyah dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Pengumuman ini akan segera ditindaklanjuti dengan lahirnya surat keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung.

Bakorpakem telah menerjunkan 33 tenaga pemantau di 33 kabupaten. Mereka menemui 55 komunitas dan 275 warga Ahmadiyah. Pemantauan itu dilakukan sejak 15 Januari 2008 selama tiga bulan. Hal itu merupakan konsekuensi dari lahirnya 12 butir kesepakatan pimpinan JAI dengan pemerintah, di antaranya tentang kenabian dan kitab suci.

Dengan adanya keputusan ini, berakhirlah wacana tentang eksistensi Ahmadiyah dalam kerangka Islam. Jika kelompok ini ingin tetap hadir di Indonesia, mereka harus menyatakan bukan bagian dari Islam. Jadi, Ahmadiyah merupakan agama tersendiri. Sesuai prinsip kebebasan beragama, setelah Ahmadiyah menyatakan diri sebagai kelompok agama tersendiri, eksistensi Ahmadiyah harus dijamin di Indonesia. Hal ini juga merupakan amanat konstitusi dan sesuai prinsip-prinsip universal tentang kebebasan dan kemanusiaan.

Tentu bukan hal yang mudah bagi pemeluk Ahmadiyah untuk menjalankan keputusan pemerintah ini. Namun, sebagai warga Indonesia yang baik, mereka selayaknya bisa berlaku bijak untuk mengikutinya. Mereka telah memilih suatu keyakinan, tentu ada konsekuensinya. Indonesia sebagai negara religius memiliki kewenangan untuk memasuki wilayah keyakinan.

Tentu dalam batas-batas yang diberikan oleh konstitusi. Indonesia bukanlah negara sekuler yang tak boleh terlibat dalam masalah keyakinan. Indonesia juga bukan negara agama yang hanya mendasarkan pada agama dan keyakinan tertentu.
Bahkan, Amerika sebagai negara sekuler pun memiliki mekanisme untuk bisa masuk ke dalam sengketa atau penyimpangan agama. Negara memang tidak masuk ke dalam wilayah keyakinan, tapi ke dalam wilayah kriminal. Misalnya, ada warga yang mengadu karena ajaran suatu kelompok agama melanggar prinsip kebebasan dan kemanusiaan. Contohnya, kekerasan dan pemaksaan. Pada titik inilah negara akan mengkriminalkan pelakunya, bahkan berujung pada berakhirnya eksistensi kelompok agama tersebut. Artinya, di ujungnya tetap saja negara bisa masuk ke dalam wilayah keyakinan. Mereka mendalilkan bahwa hal itu untuk menyelamatkan nilai-nilai Amerika.

Pada titik inilah negara dan Pemerintah Indonesia harus makin dewasa dalam menyikapi masalah agama dan keyakinan. Sebagai negara yang makin kokoh masuk ke dalam tata nilai demokrasi, ke depan akan makin banyak orang-orang yang membentuk kelompok keyakinan dan agama.
Bahkan, hanya dalam 10 tahun saja telah lahir sejumlah keyakinan baru. Dengan demikian, kematangan negara dalam mengelola hal-hal semacam itu makin urgen dan relevan. Misalnya, apa landasan hukumnya, rujukan nilai apa yang menjadi pegangan, serta bagaimana mekanisme dan kelembagaannya. Sehingga, tak lagi ada kegamangan yang hanya menimbulkan kebingungan dan bahkan eskalasi yang tak perlu.

Jika masalah ini tak segera dimatangkan, ke depan akan lahir banyak konflik horizontal dan habisnya energi kreatif masyarakat. Pemerintah dan negara harus proaktif. Pada dataran ini, kita menyeru kepada masyarakat yang terganggu oleh Ahmadiyah agar tak bertindak anarkis. Kita menyerahkan kelanjutan kasus ini kepada pemerintah dan negara.
Kita harus makin menyadari bahwa kasus Ahmadiyah bukanlah domain kebebasan beragama, tapi penodaan dan penistaan agama. Pada titik ini, kita bisa menempatkan di mana letak film Fitna ataupun buku Satanic Verses. Agama, juga kebebasan, bukanlah tali kolor yang bisa ditarik ke mana-mana dan tak bertepi. Agama ibarat kain sarung. Ia bisa lentur untuk ditafsir, tapi tetap berbentuk dan berbatas. Namun, agama juga bukan kerangkeng besi yang rigid dan kaku.

Sumber: www.republika.co.id/

Selengkapnya.....

Rasulullah SAW dan Nabi Palsu

Jumat, 29 Februari 2008

Oleh: AHMAD ROFIQI
(Mahasiswa Pasca-Sarjana Program Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun, Bogor)

Dominasi peradaban Barat telah menyebabkan banyak cendekiawan berusaha mengubah ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan konsep HAM sekuler Barat. Salah satu konsep Islam yang mendapat serangan adalah konsep tentang murtad (orang yang keluar dari agama Islam).

Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, manusia dijamin haknya untuk memeluk agama apa saja, termasuk keluar masuk suatu agama. Bagi mereka, agama dianggap seperti baju. Kapan saja boleh ditukar-tukar. Salah satu cara yang dilakukan para cendekiawan adalah berusaha ”mengubah sejarah dengan menulis bahwa seolah-olah Nabi Muhammad SAW berdiam diri terhadap tindakan kemurtadan. Bahkan, perang melawan kaum murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra dikatakan sebagai perang melawan pemberontak yang semata-mata bermotif politik, bukan perang atas dasar agama.

Sebuah buku sejarah Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Dr Muhammad Husein Haekal, misalnya, juga menulis nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah SAW tidaklah terlalu memengaruhi beliau untuk melakukan tindakan militer. ''Itulah sebabnya tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (terjemahan), 1990:559).
Di Indonesia, disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung 'hak murtad' sangat banyak. Salah satu trik mereka mengungkap sejarah dengan keliru.

Kisah dua utusan

Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2.380) Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud. Ketika menerima dua utusan nabi palsu, Musailamah al-Kazzab, Rasulullah SAW bertanya kepada mereka: ''Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, ''Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)''. Rasulullah SAW berkata: ''Kalau bukan karena utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua''.
Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no 15.420), Al Hakim (2: 155 no 2.632). Ahmad (hadits no 15.420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz la-qataltu-kumaa, (aku pasti membunuh kalian berdua). Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah, seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi, tt, Juz 6, hal: 5).

Riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah terhadap orang yang mengakui kenabian Musailamah. Tetapi, karena Rasulullah SAW memegang etika diplomatik yang tinggi, beliau membiarkan begitu saja kedua utusan nabi palsu itu.
Abu Daud (hadits no 2.381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no 2.391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), ''Aku mendengar Rasulullah SAW dulu bersabda: ''Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu. Nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan.''
Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud berkata, ''Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar.'' Masjid mereka pun akhirnya turut dirobohkan.

Mengapa Rasulullah SAW tidak memerangi Musailamah? Ibn Khaldun menjelaskan masalah ini bahwa ''Sepulangnya Nabi SAW dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita sakit tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad, mereka semua mengaku nabi.
Rasulullah SAW segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah SAW menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat.

Rasulullah menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka jihad (melawan kelompok murtad).'' (Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon, cetakan 1, tahun 1992, hal 474-475).

Tindakan Abu Bakar

Pada masa Abu Bakar kekisruhan negara sumbernya ada dua. Yang pertama orang yang menolak membayar zakat. Kedua adalah para nabi palsu.
Dalam Al Bidayah wa Al Nihayah Imam Ibn Katsir menulis judul Fasal Peperangan Abu Bakar Melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat (cetakan 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk menumpas gerakan tersebut (Al Daulah Al Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah Dakwah Islamiyah, Tripoli, Libya: tt. hal 177-178)

Semula Umar bin Khatab ra mencoba membujuk Abu Bakar agar tidak memerangi penolak zakat. Kata Abu Bakar, ''Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya mereka berikan pada Rasulullah SAW, aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini.'' (Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1.561, Muslim Kitab Al Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)

Pada riwayat lain disebutkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq yang dikenal sangat lembut perangainya menyatakan: ''Rasulullah SAW telah wafat dan wahyu sudah tidak turun lagi! Demi Allah aku akan memerangi mereka selama masih memegang pedang di tanganku meski mereka tidak mau menyerahkan seutas tali!'' (Tarikh Al Khulafa', Al Suyuthi, Fasal fii maa Waqa'a fii Khilafati Abi Bakar Al Shiddiq ra).
Ungkapan Abu Bakar 'dan wahyu sudah tidak turun lagi' menunjukkan ketegasannya terhadap persoalan nabi palsu. Dari Handzalah bin Ali Al Laitsi ia berkata, ''Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak salah satunya hendaknya ia diperangi.'' (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihda 'Asyr Bab Khabar Al Riddah).

Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas'ud berkata, ''Setelah Rasulullah SAW wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan Abu Bakar.'' (Tarikh Al Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda 'Asyr, bab Akhbar al Riddah). Juga dikatakan: ''Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar.'' (Al Bukhari hadits no 1.561).

Islam memandang masalah agama (ad-Dinul Islam) sebagai hal yang prinsip karena menyangkut urusan dunia dan akhirat. Agama tak hanya laksana baju, boleh dipakai dan ditanggalkan kapan saja.
Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersikap tegas terhadap setiap penyelewengan agama. Jadi, sangat tidak benar umat Islam, apalagi para ulamanya, hanya berdiam diri terhadap segala bentuk kesesatan dan kemurtadan. Oleh sebab itu, sesuai dengan fungsinya, tindakan MUI yang menetapkan ajaran sejumlah nabi palsu sebagai ajaran sesat adalah tindakan yang sangat tepat. Tentu saja tindakan berikutnya adalah menjadi tanggung jawab penguasa (umara).

Ikhtisar:
- Disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung hak murtad sangat banyak.
- Nabi mencontohkan memerangi musuh Allah dengan cara yang halus, tetapi tegas.

Sumber: www.republika.co.id/

Selengkapnya.....

Wednesday, May 7, 2008

Gus Dur Anggap Fatwa Aliran Sesat MUI Gendeng

Sabtu, 26 Januari 2008 - 13:04 wib
Amir Tejo - Okezone

SURABAYA - Gus Dur menganggap fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran yang dianggap sesat sebagai pikiran-pikiran orang gendeng yang suka menyendiri.
"Model sesat-sesatan Majelis Ulama Indonesia. Opo iku? Gendeng," kata Gus Dur dengan sinis saat memberikan sambutan di Musyawarah Luar Biasa DPW PKB Jawa Timur, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Sabtu (26/1/2008).

Menurut Gus Dur, dalam tubuh MUI sebenarnya ada orang NU yang sekaligus menjadi Rois Am-nya NU. Dan karena dia orang NU, seharusnya sudah terbiasa dengan perbedaan. Ini karena dalam sejarahnya, NU terbiasa dengan modernitas yang menerima sumbangan-sumbangan pemikiran-pemikiran dari luar.

Gus Dur kemudian menceritakan ulama yang bernama Imam Al Kholil Ibn Achmad Al Farozi. Meski ulama ini hidup di Arab pada abad kedua Hijriyah, namun oleh Gus Dur diklaim sebagai ulama NU karena pemikirannya dijadikan rujukan oleh NU.

Menurut Gus Dur, Imam Al Kholil Ibn Achmad Al Farozi dia adalah ensiklopedis Islam pertama yang mengajar di Masjid Basra pada abad kedua Hijriah. Dalam kitab yang dia karang, Imam Al Kholil Ibn Achmad Al Farozi sudah menggunakan kategorsiasi filsafat Yunani.

"Dengan kata lain, kiai-kiainya NU itu-meski dia hidup di Arab, sebenarnya terbiasa dengan modernitas," tegasnya. (jri)

Sumber: news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/26/1/78314

Selengkapnya.....

Di Balik Kontroversi Kasus Ahmadiyah

Jumat, 25 Januari 2008
Oleh: Haedar Nashir
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ikrar dua belas poin Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disaksikan dan dimediasi Bakorpakem beberapa waktu lalu ternyata mengundang reaksi kontra dari sebagian besar organisasi-organisasi Islam. Majelis Ulama Indonesia (MIU) Pusat bahkan menanggapi ikrar atau pernyataan itu dengan keras dan kembali menegaskan fatwanya bahwa JAI tetap sebagai aliran sesat dan menyesatkan.

Dengan kata lain, jalan penyelesaian tentang nasib JAI kembali blunder atau mengalami jalan buntu di lingkungan umat Islam. Kendati pihak Bakorpakem akan mengevaluasi realisasi kedua belas pernyataan JAI itu selama tiga bulan, diperkirakan meski hasilnya positif akan tetap menyisakan masalah dan kemungkinan tetap ditolak oleh arus besar organisasi Islam di negeri ini.

Kenapa ditolak? Kesepakatan JAI dan Bakorpakem di TMII tersebut tampaknya bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam masih menyisakan masalah baik secara prosedural maupun substansi. Pertama, secara prosedural Bakorpakem tidak melibatkan ormas-ormas Islam sehingga kelompok arus besar umat Islam ini merasa ditinggalkan dan kemudian berlepas tangan.

Forum yang digelar Bakorpakem yang menghasilkan 12 butir pernyataan JAI itu pun dipersoalkan legitimasinya. Jika Bakorpakem itu diposisikan mewakili pemerintah, timbul pertanyaan kenapa misalnya Agus Miftah masuk menjadi bagian dari pihak yang ikut menandatangani dan terlibat dalam proses lahirnya ikrar JAI tersebut.
Jika dikatakan mewakili tokoh masyarakat pun tetap dipermasalahkan. Apakah yang bersangkutan cukup representatif untuk mewakili masyarakat khususnya kalangan umat Islam.

Menurut kabar yang beredar, MUI diundang untuk forum Bakorpakem, tetapi tidak menghadiri. Jika itu benar maka ini pun semakin memperkuat persoalan tersisa. Pernyataan JAI diterima oleh pemerintah melalui Bakorpakem, tetapi tidak diterima bahkan ditolak oleh MUI dan kalangan ormas-ormas Islam, yang berarti menyisakan masalah tetap krusial.

Kedua, masih aspek prosedural. Jika dikatakan dua belas poin ikrar JAI di gedung Balitbang Depag RI tersebut lebih sebagai media atau forum dengan pendekatan kultural, dapat dipahami. Namun, timbul pertanyaan apakah cukup efektif pendekatan ala dakwah seperti itu manakala status JAI dalam posisi keagamaannya di hadapan umat Islam lain masih tetap absurd.

Persoalan serius yang dituntut mayoritas ormas-ormas Islam agar JAI dibubarkan tidak ditanggapi secara mendasar atau dijadikan titik tolak dalam pengambilan keputusan. Sejauh yang dapat diserap dari aspirasi ormas-ormas Islam ialah agar pendekatan dakwah merupakan tindak lanjut pembinaan setelah status JAI ditentukan lebih dahulu oleh Bakorpakem sebagaimana aspirasi mayoritas umat Islam selama ini.
Jika proses ini terus dilakukan dari segi yuridis formal di pihak Bakorpakem memang efektif, tetapi tidak akan memperoleh dukungan mayoritas kekuatan-kekuatan umat Islam. Jadi, ada dua jalur prosedural yang tidak bertemu antara Bakorpakem dan ormas-ormas Islam.

Ketiga, dari aspek substansi. Reaksi kalangan tokoh dan ormas-ormas Islam yang menolak mempersoalkan kebenaran substansial dari ikrar JAI. ikrar JAI secara sepintas menunjukkan 'pertaubatan' atau perubahan sikap, terutama pandangannya tentang Nabi Muhammad sebagai Khatamu Nabiyyin dan buku Tadzkirah sekadar sebagai pengalaman ruhaniah Mirza Ghulam Ahmad.

Persoalan tersembunyi
Namun, ormas Islam memandang masih banyak masalah tersembunyi dan terkesan absurd. Misalnya, masih disebutkannya istilah 'nabi penutup' dengan 'n' dan 'p' kecil untuk Muhammad, Al-Quran sebagai 'wahyu' syariat yang dipandang seolah ada wahyu nonsyariat. Hal lain adalah Mirza sebagai pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasyirat yang juga bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan beberapa pernyataan lain yang dapat dikupas makna di balik ajaran formal yang terkandung di dalamnya.

Dalam pandangan ormas dan tokoh umat Islam poin demi poin JAI tidak lugas dan tegas 100 persen, bahkan dianggap taqiyyah atau menyembunyikan makna-makna keyakinan yang sesungguhnya untuk penyelamatan diri. Dalam kaitan ini setidak-tidaknya terdapat tiga hal pokok yang dipersoalkan sekaligus untuk mengukur perubahan keyakinan dan sikap keagamaan kelompok ini secara signifikan.

Persoalan pertama, kenapa JAI tidak mencantumkan sekalian pernyataan begini: selain menyatakan 'Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (Nabi Penutup), sekaligus menyatakan bahwa 'Mirza Ghulan Ahmad bukanlah nabi, dan barang siapa menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad maka keluar dari keyakinan Islam'. Kedua, tanpa embel-embel 'wahyu syariat' perlu dinyatakan dengan tegas bahwa 'Al-Quran adalah satu-satunya Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan tidak ada wahyu lain setelahnya yang diturunkan kepada siapa pun selain kepada Nabi Muhammad SAW'.

Ketiga, selain menyatakan Tadzkirah bukan kitab suci Ahmadiyah melainkan catatan pengalaman rohani hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sebaiknya dilanjutkan dengan pernyataan tegas menolak isi Tadzkirah yang bertentangan dengan akidah Islam yang muktabar, seperti tentang tadzkirah sebagai 'wahy al-muqqadas' (kitab suci) dan pandangan-pandangan lainnya yang bertentangan sebagaimana dikritik oleh ormas Islam. Persoalan keempat, beranikan JAI berbeda dan memisahkan diri dari keyakinan utama Jamaah Ahmadiyah di dunia Islam yang mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan pandangan-pandangan keagamaan lainnya.

Persoalan JAI tampaknya tidak akan berhenti begitu saja setelah ada kesepakatan 12 poin JAI dan Bakorpakem. Belum satu hari kesepakatan TMII keluar, reaksi kontra bermunculan dari mayoritas ormas Islam. Bahkan, kini muncul kecenderungan semakin mengundang mobilisasi ormas Islam untuk bersikap lebih tegas dan keras lagi karena merasa aspirasinya diabaikan oleh pemerintah melalui Bakorpakem.

Konsep taqiyyah dan bithanah telanjur melekat dalam pikiran kalangan Islam mayoritas di negeri ini dalam memandang perubahan sikap yang tiba-tiba dari gerakan-gerakan Islam sempalan. Lebih-lebih lagi dengan 12 butir pernyataan JAI.
Pola yang diambil tampaknya win-win solution ala resolusi konflik, padahal menyangkut persengketaan teologis yang krusial. Kendati selesai bagi pihak Bakorpakem atau pemerintah, tetap tidak selesai bagi mayoritas ormas Islam. Kecuali, jika ada kesepakatan baru yang lebih tegas maka kemungkinan besar ormas Islam pun berubah sikap.

Jadi, persoalan JAI dan umat Islam di negeri ini tampaknya belum akan berakhir. JAI masih menyisakan persoalan krusial di hadapan mayoritas kalangan Islam. Bahkan, ketika semakin banyak pihak lain mendukung JAI dengan alasan kebebasan beragama, akan semakin meluas wilayah persoalan sekaligus semakin keras pula ormas Islam menunjukkan sikapnya.

Tantangan tersendiri
Bagi organisasi-organisasi Islam besar, seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, dan Nahdlatul Wathan perlu menjadikan kasus-kasus seperti Ahmadiyah sebagai tantangan tersendiri. Kemunculan gerakan yang berbeda keyakinan dari arus utama Islam selalu hadir dalam pentas sejarah dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Kelahiran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Islam Sejati, dan sebagainya merupakan fakta sosial yang hadir begitu rupa. Dalam kenyataannya paham-paham Islam yang dianggap menyempal atau bahkan dinyatakan sesat itu selain tetap tumbuh, juga memperoleh dukungan dari sebagian umat Islam.
Sebagian orang Islam tertarik masuk dalam aliran dan paham Islam yang seperti itu, baik di kalangan orang awam maupun kaum terdidik. Hal itu menunjukkan betapa kompleksnya realitas kepemelukan Islam di negeri ini.

Perlu sikap tegas sekaligus pendekatan dakwah Islam yang lebih menyentuh dan tak sekadar pendekatan legal formal. Penolakan atau kecenderungan reaktif terhadap fatwa MUI juga perlu menjadi perhatian bagi MUI. Fatwa jangan begitu mudah dikeluarkan, tetapi harus benar-benar substansial, mendasar, kredibel, dan memenuhi hajat hidup umat secara luas.

Umat memerlukan pembinaan dan ketegasan garis agar tidak menyimpang dari akidah Islam. Tetapi, pada saat yang sama juga memerlukan ruang keberagamaan lebih longgar, sejauh menyangkut wilayah furu, ijtihad, dan orientasi wilayah muamalat duniawiyah dan mencandra peradaban ke arah kemajuan. Jangan sampai muncul kesan ada kerajaan Tuhan yang begitu monolitik, dominatif, dan superpower sebagaimana pengalaman masyarakat di Barat ketika gereja sangat berkuasa di abad tengah.

Jika itu terjadi makan memunculkan reaksi-reaksi sangat ekstrem berupa gerakan-gerakan humanisme-sekuler, agnotisme, dan bahkan ateisme yang terbuka. Menghadapi persoalan Ahmadiyah dan sejenisnya juga tidak perlu dengan kekerasan apa pun dalihnya karena akan merugikan citra Islam dan umat Islam itu sendiri.

Ada pula persoalan lain yang tersisa terutama bagi tokoh-tokoh dan gerakan Islam sempalan. Dalam konteks lahirnya gerakan itu semestinya perlu dibangun kesadaran baru.
Ajaran Islam yang wajar dan biasa-biasa saja masih banyak sekali yang belum dipahami dan diamalkan. Mengapa mesti masuk dan mengembangkan keyakinan dan paham yang aneh-aneh? Nabi Muhammad dan para nabi serta rasul utusan Allah yang selama ini diyakini secara muktabar dalam Islam sangat lebih dari cukup untuk ditaati dan diteladani.

Alquran sebagai Kitab Suci satu-satunya umat Islam begitu fundamental dan komprehensif kandungan isinya. Bahkan, hingga kiamat pun belum tentu terlaksana ajaran yang terkandung di dalamnya. kenapa harus aneh-aneh mendeklarasikan atau mencari buku atau kitab lain?
Banyak hal yang cenderung 'mesiah' atau menyempal sebenarnya menggambarkan kondisi sebagian umat Islam yang kehilangan kesadaran kritisnya atau kesadaran normalnya untuk menjadi pemeluk Islam yang biasa. Akhirnya, keberagamaan memang memerlukan kedalaman dan keluasan pemahaman agar umat Islam relatif berada di koridor yang jelas dan melintasi dalam berislam.

Pandangan dan pemahaman yang wasathiyyah menjadi keniscayaan untuk ditanamkan dan dikembangkan di tubuh umat Islam di negeri ini. Kalau boleh mengajak, marilah beragama Islam secara wajar dan normal, tak perlu berlebihan dan masuk ke wilayah-wilayah yang gelap dan absurd, apalagi sesat dan menyesatkan.

Masih banyak ajaran Islam yang mujmal dan normal untuk diamalkan. Jika diwujudkan, akan mengubah kehidupan umat manusia menjadi lebih maju dan berkeadaban mulia. Umat dan masyarakat Indonesia yang masih diilit kemiskinan, marjinalisasi, dan berbagai persoalan hidup yang krusial di tengah kondisi bangsa dan negara yang sarat masalah sangat memerlukan kehadiran Islam yang konkret dan mencerahkan.

Keberagamaan secara tekstual dan kontekstual sungguh memerlukan aktualisasi Islam yang nyata dan mampu menjawab persoalan-persoalan besar kehidupan lebih dari sekadar perselisihan-perselisihan teologis yang tak berkesudahan. Dengan demikian, Islam dan umat Islam benar-benar mampu hadir sebagai pembawa risalah rahmatan lil-'alamin di muka bumi ini.

Ikhtisar:
- Persoalan JAI dan umat Islam belum akan berakhir.
- JAI masih menyisakan persoalan krusial.
- Semakin banyak pihak mendukung JAI, semakin meluas wilayah persoalannya.

Sumber: www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321082&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=

Selengkapnya.....

Fatwa MUI tak Bertentangan dengan HAM

Sabtu, 19 Januari 2008
Oleh: Huzaemah T Yanggo
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

MUI tak melanggar HAM dengan memfatwakan Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat dan menyesatkan. Pelanggarnya adalah aliran-aliran tersebut. Benih-benih hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam ajaran Islam oleh umat Islam dideklarasikan dalam deklarasi hak-hak asasi manusia Islam sedunia oleh Dewan Islam Eropa pada saat Konferensi Islam di Kota Paris pada September 1981. Ini untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam.

Deklarasi tersebut berlandaskan atas Kitab Suci Alquran dan Sunah Nabi serta telah dicanangkan oleh para sarjana Muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia. Ini kemudian semakin membuat Islam berada dalam kondisi yang baik tentang hak-hak asasi manusia karena bukan hanya kewajiban saja yang dijunjung tinggi Alquran, tetapi juga hak-hak umatnya juga diperhatikan.

Diakui dengan sejujurnya bahwa hak-hak asasi manusia memang bersifat universal. Tetapi, pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama. Oleh karena itu, adanya perbedaan antara hak-hak asasi manusia di negara-negara Barat dengan di negara-negara Islam adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Betapapun juga Islam dan Barat mempunyai nilai-nilai sosial berbeda yang tidak terlepas dari perbedaan filosofi mereka.

Namun, perbedaan ini tidak semestinya menjadikan hubungan Barat dan Islam semakin jauh dan apalagi sampai pada konflik, melainkan bagaimana mendekatkan kedua peradaban ini. Dengan demikian, konflik ini dapat dihindari dengan saling mengakui dan memahami keberadaan masing-masing.
Islam adalah agama universal yang dapat menerima berbagai kritikan dari pihak luar. Akan tetapi, semua itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Alquran dan Hadis.

Walaupun Islam mengakui adanya hak-hak asasi manusia, semua itu dihubungkan dengan adanya kewajiban-kewajiban manusia sebagai hamba Allah SWT kepada Tuhannya. Akan tetapi, adanya kewajiban itu bukan berarti menghalangi manusia untuk tidak dapat mempunyai hak sebagai hamba dalam kehidupan. Islam memberikan porsi yang sesuai tentang kedua hal ini dengan seimbang dan proporsional.

Keberagamaan adalah hak naluriah manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Namun, perlu ditegaskan bahwa kebebasan dalam masalah beragama itu apabila seseorang telah memilih suatu keyakinan maka dia harus masuk secara keseluruhan ke dalamnya dan harus menerima konsekuensi dari sesuatu yang dipilihnya.

Berdasarkan uraian di atas maka aliran Ahmadiyah atau Qiyadah Islamiyah yang mengaku Islam, mereka itu telah sesat dan berada di luar Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi penutup. Kalau Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah mengatakan bahwa masih ada lagi nabi membawa syariat setelah Nabi Muhammad, berarti aliran-aliran ini dianggap sesat dan telah murtad, keluar dari Islam.
Menurut kesepakatan ulama sedunia, tidak ada lagi nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad adalah nabi penutup. Ini merupakan bagian dari ajaran dan akidah Islam yang wajib diikuti oleh umat Islam.

Dari uraian di atas dapat pula disimpulkan bahwa fatwa MUI yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah dan aliran Qiyadah Islamiyah sesat dan telah murtad berada di luar Islam, tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM). Ini karena dalam pandangan Islam hak-hak asasi manusia bukan sesuatu yang tidak ada batasnya. Bukan berarti bebas menodai agama, tetapi harus tetap pada prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya, menurut Alquran dan Hadis Nabi SAW.

Aliran sesat langgar HAM
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa MUI melanggar HAM karena telah memfatwakan Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat dan menyesatkan, sebenarnya bukan MUI yang melanggar HAM. Sebenarnya yang melanggar HAM itu adalah aliran-aliran tersebut karena telah melakukan penyimpangan dan penodaan terhadap akidah umat Islam yang berpedoman kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw yang disepakati oleh seluruh ulama Islam.
Fatwa MUI tidak melanggar HAM yang termaktub dalam UUD 1945 Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28 E dan Bab X Pasal 29 tentang Agama karena kebebasan beragama atau memeluk agama yang diyakini dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu bukan berarti kebebasan untuk mengubah serta mengacak-acak agama dan ajaran agama yang sudah ada dengan seenaknya sesuai dengan keinginan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh aliran Ahmadiyah dalam kitab sucinya yang bernama 'Tazkirah’. Kitab itu hanya diadopsi dari Alquran, kemudian mereka tambah dan tafsirkan sesuai dengan keinginan mereka.

Dengan demikian, maka fatwa MUI mengatakan bahwa Ahmadiyah dan Qiyadah Islamiyah sesat tidak bertentangan dengan HAM. Bahkan, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kebebasan Beragama sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.

Sumber: www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320421&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
ARTIKEL LENGKAP

Selengkapnya.....

Antara Islam dan Ahmadiyah

Senin, 07 Januari 2008
Oleh: KH A Cholil Ridwan, Ketua MUI

Akhir-akhir ini, masalah Ahmadiyah terus menjadi pembicaraan. Masalah ini sudah sangat lama menjadi duri dalam daging dalam tubuh umat Islam. Kasus demi kasus yang menimpa jemaat Ahmadiyah terus terjadi. Sering ada pertanyaan, mengapakah umat Islam sangat keras resistensinya terhadap Ahmadiyah? Mengapakah MUI menetapkan Ahmadiyah adalah aliran sesat. Hal-hal inilah yang seringkali tidak dipahami oleh banyak orang, sehingga ada yang salah paham, bahkan meminta MUI dibubarkan segala macam.

Karena banyaknya pertanyaan semacam itu dari kalangan masyarakat kepada saya, maka semoga tulisan singkat berikut ini dapat menjelaskannya. Salah satu kriteria aliran sesat yang ditetapkan MUI dalam Rakernas bulan November 2007 yang lalu ialah, ''Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir''. Dengan kriteria ini, maka Ahmadiyah secara otomatis masuk kategori aliran sesat, sebab mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ahmadiyah juga mempunyai Kitab Suci sendiri, di samping Alquran, yaitu Tadzkirah, yang isinya banyak berupa "pelintiran" dari ayat-ayat Alquran. MUI sudah meneliti "kitab suci" kaum Ahmadiyah ini dengan cermat.

Pokok masalah
Masalah utama yang menjadi perbedaan antara umat Islam dan kaum Ahmadiyah adalah keyakinan tentang status kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Bagi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi dan menerima wahyu dari Allah, sehingga mereka menambahkan sebutan 'alaihis salam' (as) pada namanya. Dia pun diyakini sebagai Isa dan Imam Mahdi sekaligus. Baru-baru ini, seorang tokoh Ahmadiyah menerbitkan buku dengan judul Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007).

Dijelaskannya di dalam buku ini tentang kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu, '''Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah SAW yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Dan apabila Imam Mahdi itu sudah datang, maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.'' (halaman 69).

Kenabian Mirza Ghulam Ahmad merupakan ajaran pokok dalam aliran Ahmadiyah. Ditulis di dalam buku tokoh Ahmadiyah tersebut, ''Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad a.s. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu Mirza Ghulam Ahmad a.s. belum menyampaikan pendakwaan. Namun ketika menulis kitab itu, sebenarnya sudah menerima wahyu. 'Kamu itu nabi, kamu itu nabi!' dan diperintahkan mengambil baiat, tapi masih belum bersedia.'' (halaman 70).

Ahmadiyah memandang orang yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad sebagai orang yang sesat. Berkata Mirza Ghulam Ahmad, ''Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.'' (Mawahib al-Rahman).

Oleh sebab itulah, di dalam shalat, orang Ahmadiyah tidak boleh bermakmum kepada orang-orang Muslim, karena mereka dipandang ''belum beriman'' kepada Imam Zaman, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Dalam shalat jamaah, orang Ahmadiyah-lah yang diharuskan menjadi imam. Tentang masalah shalat ini dijelaskan di dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa tadi, ''Dasar pemikiran mengapa kalangan mereka harus yang menjadi imam, yaitu bagaimana mungkin berma'mum pada orang yang belum percaya kepada Imam Zaman, utusan Allah.'' (halaman 79-80).

Bahkan, menurut kepercayaan Ahmadiyah, musibah demi musibah, bencana demi bencana yang menimpa umat ini, juga disebabkan karena mereka menolak kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Dikatakan, ''Dalam keyakinan Ahmadi, berbagai bencana alam yang terjadi merupakan peringatan dari Tuhan. Satu-satunya cara menghindari bencana menurut mereka adalah dengan mengenal Tuhan lebih dekat dengan cara mengenal seseorang yang sudah diangkat oleh Allah SWT. sebagai Imam Zaman.'' (halaman 73).

Perbedaan keimanan
Dengan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka kaum Ahmadiyah kemudian menafsirkan ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Rasulullah SAW sesuai dengan keyakinan mereka. Inilah perbedaan yang mendasar dalam masalah keimanan antara Islam dan Ahmadiyah. Muslim tidak boleh menjadi imam shalat bagi orang Ahmadiyah. Padahal semua Muslim memahami bahwa mazhab apa pun dalam Islam, boleh saling menjadi imam satu sama lain.

Bagi umat Islam, sudah jelas kedudukan kenabian Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Sepeninggal beliau sudah tidak ada lagi nabi. Meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi, tetap saja, mereka tidak diakui oleh umat Islam, bahkan mereka jelas-jelas sebagai pendusta. Dalam keputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengutip hadits Rasulullah SAW, ''Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.'' (HR Ibn Mardawaihi, dari Tsauban).

Sikap tegas umat Islam dalam soal ''nabi palsu'' ini selalu dilakukan sejak dulu, demi menjaga kemurnian Islam. Para ulama dan pemimpin negara tidak berkompromi dalam masalah ini. Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq RA yang dikenal sangat lemah lembut, berani bersikap tegas terhadap nabi palsu bernama Musailamah Al-Kadzzaab. Sebab, apabila dibiarkan, akan menimbulkan kekacauan dalam agama dan masyarakat. Apabila Mirza Ghulam Ahmad dibenarkan, maka juga harus dibenarkan pula ''pengakuan kenabian'' Lia Eden, Ahmad Mushaddeq, dan lain lain. Padahal Ahmad Mushaddeq dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyah-nya telah dinyatakan sesat dan melakukan pidana penodaan agama.

Dalam menghadapi kelompok seperti Ahmadiyah dan Lia Eden, sikap umat Islam dan dunia Islam sudah jelas, yaitu bahwa semua itu adalah aliran sesat. Seluruh dunia Islam juga tidak berbeda. MUI dan berbagai lembaga Islam internasional sudah menyatakan hal yang sama bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang berada di luar Islam. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan keputusan Majma' al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985. Oleh sebab itu, Menteri Agama Maftuh Basyuni pernah menyarankan agar Ahmadiyah membuat agama baru, di luar Islam.
Umat Islam Indonesia sudah lama dibuat resah dengan statemen Kholifah Ahmadiyah yang ke-4, yang datang ke Indonesia, pada bulan Juli 2000, yang membuat pernyataan bahwa, ''Indonesia pada akhir abad baru ini akan menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia.'' Kalau MUI memfatwakan sesat terhadap Ahmadiyah, sebenarnya MUI sekadar menjalankan tugas dalam melindungi umat dari ajaran luar Islam yang akan merusak Islam.

Tidak ada hubungannya dengan hak asasi manusia (HAM), MUI sama sekali tidak memasung siapapun untuk memeluk agama apapun, kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. '''Laa ikrooha fiddin,'' tidak ada paksaan dalam urusan agama. ''Lakum diinukum waliyadin,'' bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jangan menanam alang-alang di kebun keluarga, tanamlah di lahan kosong yang masih sangat luas. Kebebasan memeluk agama bukan kebebasan merusak agama orang lain.

Ikhtisar
-Masalah utama penunjuk kesesatan Ahmadiyah adalah keyakinan akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
-Ahmadiyah menafsirkan Alquran dan hadits sesuai keyakinan mereka.
-Ahmadiyah menganggap sesat orang yang tak mengimani Mirza dan tak mengizinkannya sebagai imam shalat.
-Umat Islam dan dunia Islam dari dulu bersikap tegas terhadap kesesatan semacam ini.
-Pemerintah harus bertindak tegas terhadap kelompok yang merusak agama orang lain.

Sumber: www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=319032&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=

Selengkapnya.....