Wednesday, May 7, 2008

Di Balik Kontroversi Kasus Ahmadiyah

Jumat, 25 Januari 2008
Oleh: Haedar Nashir
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ikrar dua belas poin Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disaksikan dan dimediasi Bakorpakem beberapa waktu lalu ternyata mengundang reaksi kontra dari sebagian besar organisasi-organisasi Islam. Majelis Ulama Indonesia (MIU) Pusat bahkan menanggapi ikrar atau pernyataan itu dengan keras dan kembali menegaskan fatwanya bahwa JAI tetap sebagai aliran sesat dan menyesatkan.

Dengan kata lain, jalan penyelesaian tentang nasib JAI kembali blunder atau mengalami jalan buntu di lingkungan umat Islam. Kendati pihak Bakorpakem akan mengevaluasi realisasi kedua belas pernyataan JAI itu selama tiga bulan, diperkirakan meski hasilnya positif akan tetap menyisakan masalah dan kemungkinan tetap ditolak oleh arus besar organisasi Islam di negeri ini.

Kenapa ditolak? Kesepakatan JAI dan Bakorpakem di TMII tersebut tampaknya bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam masih menyisakan masalah baik secara prosedural maupun substansi. Pertama, secara prosedural Bakorpakem tidak melibatkan ormas-ormas Islam sehingga kelompok arus besar umat Islam ini merasa ditinggalkan dan kemudian berlepas tangan.

Forum yang digelar Bakorpakem yang menghasilkan 12 butir pernyataan JAI itu pun dipersoalkan legitimasinya. Jika Bakorpakem itu diposisikan mewakili pemerintah, timbul pertanyaan kenapa misalnya Agus Miftah masuk menjadi bagian dari pihak yang ikut menandatangani dan terlibat dalam proses lahirnya ikrar JAI tersebut.
Jika dikatakan mewakili tokoh masyarakat pun tetap dipermasalahkan. Apakah yang bersangkutan cukup representatif untuk mewakili masyarakat khususnya kalangan umat Islam.

Menurut kabar yang beredar, MUI diundang untuk forum Bakorpakem, tetapi tidak menghadiri. Jika itu benar maka ini pun semakin memperkuat persoalan tersisa. Pernyataan JAI diterima oleh pemerintah melalui Bakorpakem, tetapi tidak diterima bahkan ditolak oleh MUI dan kalangan ormas-ormas Islam, yang berarti menyisakan masalah tetap krusial.

Kedua, masih aspek prosedural. Jika dikatakan dua belas poin ikrar JAI di gedung Balitbang Depag RI tersebut lebih sebagai media atau forum dengan pendekatan kultural, dapat dipahami. Namun, timbul pertanyaan apakah cukup efektif pendekatan ala dakwah seperti itu manakala status JAI dalam posisi keagamaannya di hadapan umat Islam lain masih tetap absurd.

Persoalan serius yang dituntut mayoritas ormas-ormas Islam agar JAI dibubarkan tidak ditanggapi secara mendasar atau dijadikan titik tolak dalam pengambilan keputusan. Sejauh yang dapat diserap dari aspirasi ormas-ormas Islam ialah agar pendekatan dakwah merupakan tindak lanjut pembinaan setelah status JAI ditentukan lebih dahulu oleh Bakorpakem sebagaimana aspirasi mayoritas umat Islam selama ini.
Jika proses ini terus dilakukan dari segi yuridis formal di pihak Bakorpakem memang efektif, tetapi tidak akan memperoleh dukungan mayoritas kekuatan-kekuatan umat Islam. Jadi, ada dua jalur prosedural yang tidak bertemu antara Bakorpakem dan ormas-ormas Islam.

Ketiga, dari aspek substansi. Reaksi kalangan tokoh dan ormas-ormas Islam yang menolak mempersoalkan kebenaran substansial dari ikrar JAI. ikrar JAI secara sepintas menunjukkan 'pertaubatan' atau perubahan sikap, terutama pandangannya tentang Nabi Muhammad sebagai Khatamu Nabiyyin dan buku Tadzkirah sekadar sebagai pengalaman ruhaniah Mirza Ghulam Ahmad.

Persoalan tersembunyi
Namun, ormas Islam memandang masih banyak masalah tersembunyi dan terkesan absurd. Misalnya, masih disebutkannya istilah 'nabi penutup' dengan 'n' dan 'p' kecil untuk Muhammad, Al-Quran sebagai 'wahyu' syariat yang dipandang seolah ada wahyu nonsyariat. Hal lain adalah Mirza sebagai pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasyirat yang juga bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan beberapa pernyataan lain yang dapat dikupas makna di balik ajaran formal yang terkandung di dalamnya.

Dalam pandangan ormas dan tokoh umat Islam poin demi poin JAI tidak lugas dan tegas 100 persen, bahkan dianggap taqiyyah atau menyembunyikan makna-makna keyakinan yang sesungguhnya untuk penyelamatan diri. Dalam kaitan ini setidak-tidaknya terdapat tiga hal pokok yang dipersoalkan sekaligus untuk mengukur perubahan keyakinan dan sikap keagamaan kelompok ini secara signifikan.

Persoalan pertama, kenapa JAI tidak mencantumkan sekalian pernyataan begini: selain menyatakan 'Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (Nabi Penutup), sekaligus menyatakan bahwa 'Mirza Ghulan Ahmad bukanlah nabi, dan barang siapa menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad maka keluar dari keyakinan Islam'. Kedua, tanpa embel-embel 'wahyu syariat' perlu dinyatakan dengan tegas bahwa 'Al-Quran adalah satu-satunya Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan tidak ada wahyu lain setelahnya yang diturunkan kepada siapa pun selain kepada Nabi Muhammad SAW'.

Ketiga, selain menyatakan Tadzkirah bukan kitab suci Ahmadiyah melainkan catatan pengalaman rohani hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sebaiknya dilanjutkan dengan pernyataan tegas menolak isi Tadzkirah yang bertentangan dengan akidah Islam yang muktabar, seperti tentang tadzkirah sebagai 'wahy al-muqqadas' (kitab suci) dan pandangan-pandangan lainnya yang bertentangan sebagaimana dikritik oleh ormas Islam. Persoalan keempat, beranikan JAI berbeda dan memisahkan diri dari keyakinan utama Jamaah Ahmadiyah di dunia Islam yang mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan pandangan-pandangan keagamaan lainnya.

Persoalan JAI tampaknya tidak akan berhenti begitu saja setelah ada kesepakatan 12 poin JAI dan Bakorpakem. Belum satu hari kesepakatan TMII keluar, reaksi kontra bermunculan dari mayoritas ormas Islam. Bahkan, kini muncul kecenderungan semakin mengundang mobilisasi ormas Islam untuk bersikap lebih tegas dan keras lagi karena merasa aspirasinya diabaikan oleh pemerintah melalui Bakorpakem.

Konsep taqiyyah dan bithanah telanjur melekat dalam pikiran kalangan Islam mayoritas di negeri ini dalam memandang perubahan sikap yang tiba-tiba dari gerakan-gerakan Islam sempalan. Lebih-lebih lagi dengan 12 butir pernyataan JAI.
Pola yang diambil tampaknya win-win solution ala resolusi konflik, padahal menyangkut persengketaan teologis yang krusial. Kendati selesai bagi pihak Bakorpakem atau pemerintah, tetap tidak selesai bagi mayoritas ormas Islam. Kecuali, jika ada kesepakatan baru yang lebih tegas maka kemungkinan besar ormas Islam pun berubah sikap.

Jadi, persoalan JAI dan umat Islam di negeri ini tampaknya belum akan berakhir. JAI masih menyisakan persoalan krusial di hadapan mayoritas kalangan Islam. Bahkan, ketika semakin banyak pihak lain mendukung JAI dengan alasan kebebasan beragama, akan semakin meluas wilayah persoalan sekaligus semakin keras pula ormas Islam menunjukkan sikapnya.

Tantangan tersendiri
Bagi organisasi-organisasi Islam besar, seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, dan Nahdlatul Wathan perlu menjadikan kasus-kasus seperti Ahmadiyah sebagai tantangan tersendiri. Kemunculan gerakan yang berbeda keyakinan dari arus utama Islam selalu hadir dalam pentas sejarah dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Kelahiran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Islam Sejati, dan sebagainya merupakan fakta sosial yang hadir begitu rupa. Dalam kenyataannya paham-paham Islam yang dianggap menyempal atau bahkan dinyatakan sesat itu selain tetap tumbuh, juga memperoleh dukungan dari sebagian umat Islam.
Sebagian orang Islam tertarik masuk dalam aliran dan paham Islam yang seperti itu, baik di kalangan orang awam maupun kaum terdidik. Hal itu menunjukkan betapa kompleksnya realitas kepemelukan Islam di negeri ini.

Perlu sikap tegas sekaligus pendekatan dakwah Islam yang lebih menyentuh dan tak sekadar pendekatan legal formal. Penolakan atau kecenderungan reaktif terhadap fatwa MUI juga perlu menjadi perhatian bagi MUI. Fatwa jangan begitu mudah dikeluarkan, tetapi harus benar-benar substansial, mendasar, kredibel, dan memenuhi hajat hidup umat secara luas.

Umat memerlukan pembinaan dan ketegasan garis agar tidak menyimpang dari akidah Islam. Tetapi, pada saat yang sama juga memerlukan ruang keberagamaan lebih longgar, sejauh menyangkut wilayah furu, ijtihad, dan orientasi wilayah muamalat duniawiyah dan mencandra peradaban ke arah kemajuan. Jangan sampai muncul kesan ada kerajaan Tuhan yang begitu monolitik, dominatif, dan superpower sebagaimana pengalaman masyarakat di Barat ketika gereja sangat berkuasa di abad tengah.

Jika itu terjadi makan memunculkan reaksi-reaksi sangat ekstrem berupa gerakan-gerakan humanisme-sekuler, agnotisme, dan bahkan ateisme yang terbuka. Menghadapi persoalan Ahmadiyah dan sejenisnya juga tidak perlu dengan kekerasan apa pun dalihnya karena akan merugikan citra Islam dan umat Islam itu sendiri.

Ada pula persoalan lain yang tersisa terutama bagi tokoh-tokoh dan gerakan Islam sempalan. Dalam konteks lahirnya gerakan itu semestinya perlu dibangun kesadaran baru.
Ajaran Islam yang wajar dan biasa-biasa saja masih banyak sekali yang belum dipahami dan diamalkan. Mengapa mesti masuk dan mengembangkan keyakinan dan paham yang aneh-aneh? Nabi Muhammad dan para nabi serta rasul utusan Allah yang selama ini diyakini secara muktabar dalam Islam sangat lebih dari cukup untuk ditaati dan diteladani.

Alquran sebagai Kitab Suci satu-satunya umat Islam begitu fundamental dan komprehensif kandungan isinya. Bahkan, hingga kiamat pun belum tentu terlaksana ajaran yang terkandung di dalamnya. kenapa harus aneh-aneh mendeklarasikan atau mencari buku atau kitab lain?
Banyak hal yang cenderung 'mesiah' atau menyempal sebenarnya menggambarkan kondisi sebagian umat Islam yang kehilangan kesadaran kritisnya atau kesadaran normalnya untuk menjadi pemeluk Islam yang biasa. Akhirnya, keberagamaan memang memerlukan kedalaman dan keluasan pemahaman agar umat Islam relatif berada di koridor yang jelas dan melintasi dalam berislam.

Pandangan dan pemahaman yang wasathiyyah menjadi keniscayaan untuk ditanamkan dan dikembangkan di tubuh umat Islam di negeri ini. Kalau boleh mengajak, marilah beragama Islam secara wajar dan normal, tak perlu berlebihan dan masuk ke wilayah-wilayah yang gelap dan absurd, apalagi sesat dan menyesatkan.

Masih banyak ajaran Islam yang mujmal dan normal untuk diamalkan. Jika diwujudkan, akan mengubah kehidupan umat manusia menjadi lebih maju dan berkeadaban mulia. Umat dan masyarakat Indonesia yang masih diilit kemiskinan, marjinalisasi, dan berbagai persoalan hidup yang krusial di tengah kondisi bangsa dan negara yang sarat masalah sangat memerlukan kehadiran Islam yang konkret dan mencerahkan.

Keberagamaan secara tekstual dan kontekstual sungguh memerlukan aktualisasi Islam yang nyata dan mampu menjawab persoalan-persoalan besar kehidupan lebih dari sekadar perselisihan-perselisihan teologis yang tak berkesudahan. Dengan demikian, Islam dan umat Islam benar-benar mampu hadir sebagai pembawa risalah rahmatan lil-'alamin di muka bumi ini.

Ikhtisar:
- Persoalan JAI dan umat Islam belum akan berakhir.
- JAI masih menyisakan persoalan krusial.
- Semakin banyak pihak mendukung JAI, semakin meluas wilayah persoalannya.

Sumber: www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=321082&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=