Monday, May 19, 2008

Ahmadiyah dan Kebebasan Beragama

Tajuk Republika - Kamis, 17 April 2008

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) memerintahkan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan kegiatan. Mereka mengumumkan keputusan itu di Kejaksaan Agung, kemarin (16/4). JAI dinilai tak melaksanakan 12 butir kesepakatan yang dibuat pada pertengahan Januari lalu. Karena itu, Ahmadiyah dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Pengumuman ini akan segera ditindaklanjuti dengan lahirnya surat keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung.

Bakorpakem telah menerjunkan 33 tenaga pemantau di 33 kabupaten. Mereka menemui 55 komunitas dan 275 warga Ahmadiyah. Pemantauan itu dilakukan sejak 15 Januari 2008 selama tiga bulan. Hal itu merupakan konsekuensi dari lahirnya 12 butir kesepakatan pimpinan JAI dengan pemerintah, di antaranya tentang kenabian dan kitab suci.

Dengan adanya keputusan ini, berakhirlah wacana tentang eksistensi Ahmadiyah dalam kerangka Islam. Jika kelompok ini ingin tetap hadir di Indonesia, mereka harus menyatakan bukan bagian dari Islam. Jadi, Ahmadiyah merupakan agama tersendiri. Sesuai prinsip kebebasan beragama, setelah Ahmadiyah menyatakan diri sebagai kelompok agama tersendiri, eksistensi Ahmadiyah harus dijamin di Indonesia. Hal ini juga merupakan amanat konstitusi dan sesuai prinsip-prinsip universal tentang kebebasan dan kemanusiaan.

Tentu bukan hal yang mudah bagi pemeluk Ahmadiyah untuk menjalankan keputusan pemerintah ini. Namun, sebagai warga Indonesia yang baik, mereka selayaknya bisa berlaku bijak untuk mengikutinya. Mereka telah memilih suatu keyakinan, tentu ada konsekuensinya. Indonesia sebagai negara religius memiliki kewenangan untuk memasuki wilayah keyakinan.

Tentu dalam batas-batas yang diberikan oleh konstitusi. Indonesia bukanlah negara sekuler yang tak boleh terlibat dalam masalah keyakinan. Indonesia juga bukan negara agama yang hanya mendasarkan pada agama dan keyakinan tertentu.
Bahkan, Amerika sebagai negara sekuler pun memiliki mekanisme untuk bisa masuk ke dalam sengketa atau penyimpangan agama. Negara memang tidak masuk ke dalam wilayah keyakinan, tapi ke dalam wilayah kriminal. Misalnya, ada warga yang mengadu karena ajaran suatu kelompok agama melanggar prinsip kebebasan dan kemanusiaan. Contohnya, kekerasan dan pemaksaan. Pada titik inilah negara akan mengkriminalkan pelakunya, bahkan berujung pada berakhirnya eksistensi kelompok agama tersebut. Artinya, di ujungnya tetap saja negara bisa masuk ke dalam wilayah keyakinan. Mereka mendalilkan bahwa hal itu untuk menyelamatkan nilai-nilai Amerika.

Pada titik inilah negara dan Pemerintah Indonesia harus makin dewasa dalam menyikapi masalah agama dan keyakinan. Sebagai negara yang makin kokoh masuk ke dalam tata nilai demokrasi, ke depan akan makin banyak orang-orang yang membentuk kelompok keyakinan dan agama.
Bahkan, hanya dalam 10 tahun saja telah lahir sejumlah keyakinan baru. Dengan demikian, kematangan negara dalam mengelola hal-hal semacam itu makin urgen dan relevan. Misalnya, apa landasan hukumnya, rujukan nilai apa yang menjadi pegangan, serta bagaimana mekanisme dan kelembagaannya. Sehingga, tak lagi ada kegamangan yang hanya menimbulkan kebingungan dan bahkan eskalasi yang tak perlu.

Jika masalah ini tak segera dimatangkan, ke depan akan lahir banyak konflik horizontal dan habisnya energi kreatif masyarakat. Pemerintah dan negara harus proaktif. Pada dataran ini, kita menyeru kepada masyarakat yang terganggu oleh Ahmadiyah agar tak bertindak anarkis. Kita menyerahkan kelanjutan kasus ini kepada pemerintah dan negara.
Kita harus makin menyadari bahwa kasus Ahmadiyah bukanlah domain kebebasan beragama, tapi penodaan dan penistaan agama. Pada titik ini, kita bisa menempatkan di mana letak film Fitna ataupun buku Satanic Verses. Agama, juga kebebasan, bukanlah tali kolor yang bisa ditarik ke mana-mana dan tak bertepi. Agama ibarat kain sarung. Ia bisa lentur untuk ditafsir, tapi tetap berbentuk dan berbatas. Namun, agama juga bukan kerangkeng besi yang rigid dan kaku.

Sumber: www.republika.co.id/